Sunday, November 13, 2011

karaginan

Rumput laut (seaweed) dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah alga.
Berdasarkan pigmen yang dikandung alga dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok, yaitu Rhodopyceae (alga merah), Phaeopyceae (alga coklat),
Chlorophyceae (alga hijau) dan Cyanophyceae (alga hijau biru). Menurut Rahmania
(2001), rumput laut bermanfaat untuk makanan, obat  dan bahan baku industri.
Gracillaria (alga merah) memiliki kandungan  agar yang biasanya digunakan dalam
pembuatan makanan, farmasi dan industri. Sargassum (alga coklat) menghasilkan
alginat. Alginat banyak digunakan untuk  kosmetik, industri tekstil, menurunkan
kolesterol, pengobatan anti kanker dan sebagainya. Sedangkan  Eucheuma spinosum
(alga merah)  memiliki kandungan karaginan yang banyak digunakan dalam berbagai
industri (Winarno,1990).
Eucheuma spinosum merupakan rumput laut  dari kelompok Rhodopyceae
(alga merah) yamg mampu menghasilkan karaginan.  Eucheuma dikelompokkan
menjadi beberapa spesies yaitu  Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma
cottoni, Eucheuma cupressoideum dan masih banyak lagi yang lain. Kelompok
Eucheuma  yang dibudidayakan di Indonesia masih sebatas pada  Eucheuma cottoni
dan Eucheuma spinosum. Eucheuma cottoni dapat menghasilkan kappa karaginan dan
telah banyak diteliti baik proses pengolahan maupun elastisitasnya. Sedangkan
Eucheuma spinosum  mampu menghasilkan iota karaginan. Dewasa ini rumput laut
1
jenis  Eucheuma spinosum banyak dibudi daya di daerah Sumenep–Madura. Akan
tetapi rumput laut jenis ini masih belum banyak diteliti bagaimana cara eksktraksi
untuk menghasilkan iota karaginan maupun komposisi kimia yang dikandung iota
karaginan. Proses yang dilakukan selama ini hanya pengolahan langsung menjadi
permen maupun dodol bahkan masih banyak  yang dijual dalam bentuk kering tanpa
pengolahan .
Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau
larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan
berfungsi untuk pengental, pengemulsi, pensuspensi, dan faktor penstabil. Karaginan
juga dipakai dalam industri pangan untuk memperbaiki  penampilan produk kopi, bir,
sosis, salad, es krim, susu kental, coklat, jeli. Industri farmasi memakai karaginan
untuk pembuatan obat, sirup, tablet, pasta gigi, sampo dan sebagainya. Industri
kosmetika menggunakannya sebagai gelling agent (pembentuk gel) atau binding agent
(pengikat). Sedangkan industri non pangan seperti tekstil, kertas, cat air, transportasi
minyak mentah, penyegar udara, pelapisan keramik, kertas printer atau mesin pencetak
serta karpet dan sebagainya (Winarno, 1990).
Usaha peningkatan pemanfaatan rumput laut merah  Eucheuma spinosum
menjadi suatu tepung karaginan akan dilakukan agar dapat digunakan untuk berbagai
proses industri yang selama ini hanya dijual kering tanpa pengolahan, yaitu sebatas
pembuatan permen dan dodol. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan karaginan
adalah proses ekstraksi yang meliputi cara ekstraksi, pH, lama dan suhu.  Proses
pengolahan karaginan dimulai dengan  sistem ekstraksi dengan suatu basa yang
kemudian dilanjutkan dengan penyaringan, pengendapan dan  penggilingan hingga
2
menjadi suatu tepung. Rasyid (2003) menjelaskan bahwa perbedaan  penggunaan basa
berpengaruh pada kekentalan dan kekuatan gel karaginan. Jika diinginkan suatu
produk yang kental dengan kekuatan gel rendah  maka digunakan garam natrium,
untuk gel yang elastis digunakan garam  kalsium sedangkan garam kalium
menghasilkan gel yang keras. Untuk Kappa karaginan lebih sensitif terhadap ion-ion
kalium sedangkan  iota karaginan lebih sensitif dengan ion-ion kalsium. Mangione
dkk (2005) telah meneliti tentang pengaruh K dan Na pada sifat gel kappa karaginan,
dimana kedua ion tersebut memiliki peran yang berbeda dalam menaikkan gel
makroskopik kappa karaginan. Adanya ion Na menghasilkan struktur yang  lebih tidak
teratur dibandingkan dengan adanya ion K. Sehingga akan diteliti pengaruh Ca, K dan
Na pada sifat kekentalan  iota karaginan.
pH berpengaruh pada pembuatan karaginan. Menurut Rumajar dkk (1997)
randemen tertinggi sebesar 50% di dapat pada perlakukan pH 10. Sedangkan menurut
Suryaningrum (1988) ekstrak dilakukan dalam suasana basa pada pH 8-9.
Berdasarkan uraian tersebut maka pada   penelitian ini akan dibuat tepung karaginan
dengan cara ekstraksi pada pH 8; 8,5; 9; 9,5 dan 10.
Lama proses ekstraksi juga mempengaruhi karaginan yang dihasilkan. Menurut
Setyowati (2000) randemen terbesar  yaitu 67,77% diperoleh untuk jenis  Eucheuma
spinosum dengan lama ekstraksi optimal 2 jam. Sedangkan menurut Rumajar dkk
(1997) bahwa randemen tertinggi yaitu 50% didapat dengan lama ekstraksi 90 menit.
Selain itu, waktu ekstraksi juga mempengaruhi kadar sulfat. Menurut Setyowati
(2000) lama ekstraksi 2 jam memberikan hasil rata-rata kadar sulfat tertinggi sebesar
19,44% sedangkan terendah pada lama ekstraksi 1 jam sebesar 18,318%. Sedangkan
3
menurut Rumajar dkk (1997) kandungan sulfat rata-rata pada lama ekstraksi 30 menit
sebesar 22,07%, lama ekatraksi 60 menit 21,74% dan lama ekstraksi 90 menit menjadi
21,21%. Dimana dengan bertambah lama ekstraksi akan menurunkan kandungan
sulfat karaginan, sehingga akan dilakukan penelitian dengan lama ekstraksi 2 jam.
Karaginan dapat terlepas dari dinding sel dan larut  jika kontak dengan panas.
Degradasi panas yang terjadi akibat waktu ekstraksi yang terlalu lama menyebabkan
perubahan atau putusnya susunan rantai molekul.   Besarnya suhu pada saat ekstraksi
juga perlu diperhatikan. Suhu ekstraksi menurut Rasyid (2003) adalah 85-95  o
C,
Setyowati (2000) pada suhu 90 o
C sedangkan menurut Rumajar dkk (1997) pada suhu
100  o
C, Aslan (1991) dalam Setyowati dkk (2000) pada suhu  90-95o
C dan Mukti
(1987) dalam Setyowati dkk (2000) pada suhu optimum 90-95o
C. Sehingga pada
penelitian ini akan dilakukan pada suhu optimum 95 o
C.

No comments :

Post a Comment